Rotasi Pejabat Versi Bobby Nasution Kembali Tuai Kritik: ASN Bukan Alat Politik!

Sebarkan:

 

Gubsu Bobby Nasution dan Wagubsu Surya terus mendapat kritik tajam publik soal rotasi pejabat tinggi yang dinilai dilakukan secara serampangan. Diskominfo Sumut/hastara.id

MEDAN, HASTARA.ID — Gubernur Bobby Nasution terus menjadi sorotan publik setelah menonaktifkan lima pejabat eselon II di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu). Langkah ini kembali menuai kritik tajam dari pengamat kebijakan publik, Elfenda Ananda, yang menegaskan bahwa proses rotasi dan promosi jabatan tinggi tidak boleh dilakukan secara serampangan.

Kelima pejabat yang dinonaktifkan tersebut adalah Kadis Kominfo Ilyas Sitorus, Kepala Biro Otonomi Daerah Harianto Butarbutar, Kepala BPSDM Abdul Haris Lubis, Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Juliadi Harahap, serta Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, Energi, dan Sumber Daya Mineral, Mulyadi Simatupang.

Meski penonaktifan terhadap Ilyas Sitorus dipahami karena sedang menghadapi proses hukum, alasan bagi empat pejabat lainnya masih dianggap kabur. Pihak Pemprovsu hanya menyebut dugaan pelanggaran berat dan pencemaran nama baik Gubsu sebagai dasar keputusan.

Tak pelak, langkah mendadak ini menimbulkan gejolak internal sekaligus menjadi buah bibir di kalangan publik. Tidak hanya karena alasan pencopotan yang dinilai tidak transparan, tetapi juga karena pengangkatan lima pejabat baru — yang berasal dari Pemko Medan dan Pemkab Asahan— dilakukan tanpa mekanisme lelang terbuka (open bidding), sebuah prosedur standar dalam pengisian jabatan eselon II.

“Jika benar tujuannya untuk meningkatkan kinerja, maka seharusnya dilakukan secara terbuka, profesional, dan sesuai aturan. Jangan sampai publik menilai ini hanya aksi ‘bersih-bersih’ yang berbau politis,” tegas Elfenda.

Bukan Alat Politik

Elfenda Ananda juga menegaskan bahwa membersihkan birokrasi dari pejabat yang tidak kompeten memang penting, namun bukan berarti boleh dilakukan semaunya. Ia mengingatkan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah bagian dari sistem profesional, bukan alat politik.

“Kalau pencopotan dilakukan karena alasan tidak loyal secara politik, itu berbahaya. ASN bukan alat politik. Mereka bekerja untuk negara, bukan untuk kepentingan kelompok atau individu,” ucapnya. 

Lebih jauh, Elfenda menyoroti potensi polarisasi di internal Pemprovsu yang bisa terjadi akibat keputusan ini. Dalam iklim politik menjelang Pilkada, tarik-menarik dukungan antarcalon memang kerap terjadi. Dan meskipun ASN secara hukum dilarang terlibat dalam politik praktis, praktik dukung-mendukung secara diam-diam bukan hal baru di birokrasi Indonesia.

“Kalau mereka yang tidak berada di pihak ‘yang menang’ akhirnya tersingkir, maka netralitas ASN akan hancur. Ini bisa menjadi bom waktu bagi jalannya pemerintahan,” tambahnya.

Pentingnya Transparansi 

Elfenda pun mengingatkan bahwa setiap pencopotan pejabat harus disertai dengan alasan yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Evaluasi kinerja, pelanggaran etika atau proses hukum yang sah harus menjadi dasar, bukan sekadar selera atau hubungan pribadi.

“Ini soal profesionalisme dan keadilan dalam birokrasi. Jangan sampai jabatan dijadikan alat balas budi atau hukuman politik. Itu akan menjadi preseden buruk,” pungkasnya. 

Langkah Bobby Nasution dalam merombak jajaran pejabat tinggi Pemprovsu memang menjadi perhatian banyak pihak. Kini, publik menanti apakah perubahan tersebut benar-benar membawa perbaikan kinerja pemerintahan, atau justru menjadi catatan kritis dalam rekam jejak kepemimpinan menantu mantan Presiden Indonesia, Joko Widodo tersebut. (has)


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini